SVLK Produk Impor Mulai 2015

Usulan pemberlakuan SVLK untuk produk impor berbasis kayu sudah setahun belakangan didorong oleh Kementerian Kehutanan. Kabar baiknya, sudah ada kesepakatan kalau kebijakan itu akan berlaku tahun depan.
Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kementerian Kehutanan Bambang Hendroyono mengatakan, pemberlakuan SVLK untuk produk berbasis kayu impor akan diterapkan Februari 2015. "Semua sudah setuju tahun depan SVLK untuk produk impor diberlakukan," katanya, Kamis (16/10/2014).
Pemberlakuan SVLK untuk produk impor itu juga menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk memberantas perdagangan kayu ilegal, baik dalam negeri maupun yang berasal dari luar negeri. Bambang menyatakan, jika SVLK tidak diterapkan untuk produk impor, dikhawatirkan Indonesia malah menjadi 'mesin cuci' untuk kayu-kayu ilegal dari negara lain.
"Kita sudah memberlakukan SVLK secara penuh mulai tahun 2015. Termasuk untuk industri kecil dan usaha kehutanan skala rakyat. Tentu tidak adil jika impor malah dibebaskan," katanya.
Bambang sendiri menegaskan, pihak-pihaknya mendukung adanya perlakuan yang adil bagi industri bubur kayu dan kertas dalam menghadapi persaingan dagang. Menurut dia, industri bubur kayu dan kertas adalah industri unggulan yang bukan hanya menyerap tenaga kerja tapi juga mendukung peningkatan produktivitas hutan dengan memanfaatkan bahan baku dari hutan tanaman.
Kampanye Negatif
Wakil Ketua APKI Rusli Tan berharap pemberlakuan SVLK untuk produk impor dibarengi dengan kebijakan untuk menjadikan SVLK sebagai satu-satunya acuan soal standar kelestarian bahan baku.
Pasalnya, saat ini sejumlah industri konsumen lebih memilih menggunakan skema sertifikasi yang dikembangkan oleh organisasi asing sebagai acuan pembelian produk kehutanan dan mengabaikan SVLK.
"Ada BUMN besar, ada juga produsen kebutuhan rumah tangga raksasa yang tak mau menggunakan produk yang telah dilengkapi SVLK. Mereka hanya mau menggunakan produk yang memiliki sertifikat dari pihak asing," cetus dia.
Rusli mensinyalir, sikap sejumlah perusahaan yang mengabaikan SVLK karena mereka termakan kampanye negatif LSM asing yang menyebut kelestarian hutan hanya mengacu kepada skema sertifikasi asing tertentu. Menurut dia, hal itu adalah sebuah sikap tidak menghormati SVLK, yang sebenarnya telah dikembangkan secara multipihak, transparan dan akuntabel. "Pemerintah seharusnya memaksa industri konsumen di tanah air menjadikan SVLK sebagai satu-satunya acuan pembelian produk kehutanan. Kalau mereka tidak mau, itu melecehkan SVLK," kata Rusli.