Australia Akui SVLK

Indonesia dan Australia menyepakati panduan perdagangan produk kayu dari sumber yang legal (Country Specific Guideline/CSG) yang prinsipnya memberi pengakuan kepada Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia. Kesepakatan tersebut diharapkan akan diresmikan pada akhir Oktober dan berdampak kepada naiknya kinerja ekspor produk kayu Indonesia ke negeri kangguru itu.
"Dengan disepakatinya CSG ini diharapkan importir produk kayu di Australia dapat lebih mudah memenuhi proses uji tuntas terhadap produk kayu Indonesia yang telah bersertifikat SVLK," kata Direktur Bina Pengelolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Kehutanan Dwi Sudharto dalam pernyataannya yang dikirim dari Canberra, Australia, Sabtu (18/10/2014).
Kesepakatan CSG merupakan hasil pertemuan terbaru yang dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan Indonesia dan Kementerian Pertanian Australia di Canberra. Turut terlibat dalam negoisasi yang intensif dan konstruktif itu perwakilan masyarakat sipil dan pihak swasta yang diantaranya hadir Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) Kusnan Rahmin.
Serupa dengan Uni Eropa yang sudah memberlakukan European Union Timber Regulation (EUTR), pemerintah Australia memiliki Illegal Loging Prohibition Act (ILPA) yang mulai 30 November 2014 mendatang mewajibkan importirproduk perkayuan Australia melakukan uji tuntas (due diligence) untuk memastikan bahwa produk kayu yang diimpornya bukan berasal dari kegiatan illegal.
Dwi menegaskan dengan disepakatinya CSG Indonesia ini maka Australia pada prinsipnya mengakui bahwa sistem sertifikasi hutan dan kayu yang berlaku secara wajib di Indonesia, yaitu sebagai SVLK telah memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bukti legalitas produk perkayuan Indonesia.
Pengakuan tersebut menyusul pengakuan serupa yang terlebih dahulu telah diberikan oleh Uni Eropa manakala Indonesia dan Uni Eropa menandatangani kesepakaan sukarela tentang Penegakan Hukum Kehutanan, Tata Kelola dan Perdagangan (FLEGT-VPA) satu tahun yang lalu, "Kesepakatan tentang CSG Indonesia ini membawa Indonesia dan Australia masuk ke proses di negara masing-masing, untuk melapangkan jalan bagi pelaksanaan penuh kesepakatan ini," kata Dwi.
Kesepakatan itu sendiri disambut positif oleh kalangan pelaku usaha. Australia akan menjadi tujuan ekspor industri yang menjanjikan. "Pengakuan Australia akan berdampak positif. Pengakuan terhadap kelestarian dan keabsahan produk berbasis kayu Indonesia terus meningkat di pasar global," kata Kusnan.
RAPP sendiri telah mengantongi sertifikat SVLK dan Pengelolaan Hutan Produk Lestari (PHPL) bagi hutan tanaman yang dikelolanya sejak 2010. "Kedua sertifikasi ini telah membuktikan bahwa kayu yang bersumber dari hutan tanaman yang dikelola RAPP bukan hanya sah atau legal, namun kayu ini juga berasal dari hutan tanaman yang telah dikelola secara lestari," papar Kusnan.
Berdasarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SILK) Kemenhut, pada periode Januari - Agustus 2014, nilai ekspor produk berbasis kayi ke Australia mencapai 163.322,7 dollar AS. Itu berarti Australia berkontribusi sebesar 4,74% dari total ekspor ke seluruh dunia yang sebesar 4,3 juta dollar AS. Tiongkok dan Jepang masih menempati peringkat pertama dan kedua tujuan ekspor produk perkayuan dengan nilai masing masing 1,307 dollar AS (37,9% dari total ekspor) dan 728.132,4 dollar AS (21,15% dari total ekspor)
Sumber: AGROINDONESIA (Vol IX, NO 519, 28 Oktober - 3 November 2014