Verifikasi Legalitas Kayu yang Sederhana

Sistem verifikasi legalitas kayu, antara lain, untuk menjamin bahan baku mebel produksi Indonesia berasal dari hutan yang terkelola. Artinya, sumbernya sah dan mebel itu bukan berbahan baku kayu tebangan liar.
Melihat tujuan itu, seharusnya tidak ada resistensi terhadap penerapan sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK). Justru SVLK akan memberi stigma bagus terhadap produk mebel Indonesia di mata pembeli mancanegara yang kian peduli dengan isu lingkungan.
Namun, fakrtanya, SVLK masih menyisakan persoalan yang disorot dunia usaha. Pada tataran praksis, penerapan SVLK ternyata menjadi kendala bagi pelaku usaha, terutama industri kecil menengah (IKM) bidang mebel.
Sekretaris Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Semarang Christianto Prabawa, misalnya menyuarakan pentingnya penyederhanaan proses SVLK. Harapan IKM mebel itu disamaikan kepada Menteri Perindustrian Saleh Husein yang pekan lalu mengunjungi beberapa industri di Jawa Tengah, termasuk CV Mebel Internasional di Semarang.
Christianto, berkaca dari pengalamannya dua tahun lalu, memaparkan, mengurus SVLK ternyata memerlukan waktu tiga hari. Hari pertama untuk memverifikasi legalitas perusahaan, seperti izin usaha industri, nomor pokok wajib pajak, dan segala hal yang tidak berhubungan dengan kayu.
Hari kedua untuk memproses hal-hal terkait kesehatan dan keselamatan kerja. Misalnya, perusahaan ditanya penggunaan peranti pengaman dan penerapan rencana darurat saat terjadi kebakaran atau ketaatan tak mempekerjakan pegawai di bawah usia 17 tahun.
Pengurusan pada hari ketiga baru menginjak proses verifikasi terkait kayu. Biaya yang dikeluarkan untuk tiga hari pemrosessan mendapakan SVLK berkisar Rp 25 juta - 30 juta.
Biaya tersebut tak jadi masalah bagi industri skala menengah dan besar. Namun, bagi IKM, biaya itu jelas membebani.
Tak heran jika muncul usulan agar proses mendapatkan SVLK dipersingkat menjadi satu hari, yang langsung berkaitan dengan legalitas kayu. Selain hemat waktu, juga biaya. Harapannya, perlu sekitar Rp 5 juta saja.
Penyederhanaan proses semacam itu akan membuat biaya mendapatkan SVLK lebih terjangkau bagi IKM. Peelaku IKM pun tidak kehilangan banyak waktu berkarya demi mengurus SVLK. Di sisi lain, keinginan pemerintah agar bahan baku tidak bersumber dari kayu tebangan liar juga tercapai.
Merujuk data AMKRI, ekspor mebel Indonesia baru sekitar 1,7 miliar dollar AS sangat kecil dibandingkan total ekspor mebel dunia yang mencapai 112 miliar dollar AS. Pemerintah dan pelaku usaha mebel menargetkan ekspor mebel Indonesia bisa 5 iliar dollar AS pada lima tahun mendatang. Tentunya industri mebel perlu dukungan agar target itu tercapai.
Dukungan bisa dengan menghilangkan penghalang dan mengurangi beban. Selain itu, beri dukungan konstruktif bagi dunia usaha. Alhasil, industri mebel Indonesia akan berdaya saing di pasar domestik dan mancanegara.
Sumber: KOMPAS (Selasa, 25 November 2014)