18 UKM Tertarik Terapkan SVLK

WWF Indonesia bekerja sama dengan Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia didukung Uni Eropa memfasilitasi 18 pelaku usaha kecil menengah bidang perkayuan untuk menerapkan sistem verifikasi dan legalitas kayu. Melalui penerapan sistem itu, para pelaku UKM bisa beradaptasi dengan ketentuan baru dan lebih mudah masuk pasar luar negeri.
WWF Indonesia memperoleh dana sekitar 1,3 juta euro (setara Rp 18,9 miliar), dengan 1 juta euro di antaranya dari Uni Eropa untuk kegiatan Februari 2013 - Januari 2016. Program itu bertajuk "Promoting the Implementation of Timber Legality Assurance Flegt License as a Key Step to Sustainable Production and Consumption in Indonesia's Wood Processing Industry".
"Kami menargetkan menyelesaikan pendampingan bagi 30 pelkau UKM di Jawa, Sumatera, dan Kalimantan," kata Nur Maliki Arifiandi, Senior Trade and Pulp & Paper Officer WWF Indonesia, Selasa (20/1), di Jakarta. Saat ini, dari 18 pelaku UKM yang mendapat pendampingan, 16 di antaranya menerapkan SVLK.
Pihak WWF Indonesia menyeleksi 30 dari 217 pelaku UKM peserta pelatihan terkait SVLK sebelum difasilitasi. Fasilitas termasuk pembiayaan untuk memperoleh sertikat verifikasi legalitas kayu (VLK).Menurut Maliki, itu bentuk penghargaan atas keaktifan para pelaku UKM terpilih yang menunjukan ketertarikan pada SVLK.
SVLK adalah sistem pelacakan kayu untuk memastikan legalitas sumber kayu beredar dan diperdagangkan di Indonesia. Sistem ini dipercaya para konsumen produk kayu Indonesia di Uni Eropa dan Australia.
Hampir semua pelaku UKM yang difasilitasi berorientasi ekspor, salah satunya CV Max di bidang permebelan dan berkantor di Yogyakarta. Mayoritas bahan baku UKM itu dari Semarang, Boyolali, dan Salatiga.
Kemarin, sejumlah wartawan melihat hutan rakyat milik perseorangan di Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Pembeli kayu, Sutrisno, kerap membeli kayu dari warga di desa itu dan menjualnya kepada MS Wahyu Hidayat, pemilik CV Max.
Menurut Wahyu, ia tidak kesulitan mengikuti ketentuan dalam SVLK karena terbiasa mendata sumber kayu sejak sebelum punya sertifikat VLK.
Harga produk mebelnya, kata Wahyu, lebih mahal setelah bersertifikat VLK. Namun, kenaikannya tidak signifikan. Kenaian paling besar 10 persen dari harga sebelum bersertifikat. "Konsumen tinggal tutup mata, tidak perlu susah-susah mengecek legalitas kayu lagi." ujarnya.
Manajer Global Forest and Trade Network dan Pulp & Paper WWF Indonesia Aditya Bayunanda mengatakan, SVLK masih fokus soal legalitas kayu. Belum sampaimenjamin pengelolaan hutan secara lestari. Namun, menjamin legalitas kayu merupakan dasar penting yang saat ini masih sulit diterapkan.
Sumber: KOMPAS (Rabu, 21 Januari 2015)