Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK)
Sustainability and Legality Information System
Senin, 10 Maret 2025

Mengejar Tanggat 31 Desember 2015

2015-03-13 14:53:41 by Administrator Liu
"Kalau sampai 31 Desember masih ada yang belum mendapatkan sertifikat bagaimana? Apakah masih ada keringanan?," tanya Retna, perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan dari provinsi Jawa Tengah
Pertanyaannya tersebut di ajukan saat sesi tanya jawab pada pembukaan rapat koordinasi Percepatan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu bagi usaha kehutanan skala Kecil dan Menengah di Jakarta, Selasa (17/2/2015) malam, Hadir sebagai pemateri dalam kesempatan tersebut Dirjen Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono, Direktur ekspor Produksi Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Nurlaila Nur Muhamammad, dan Direktur Industri Kecil dan menengah (IKM) Wilayah II Kementerian Perindustrian Roy Sianipar.
Pertanyaan Ratna muncul tak lepas dari masih banyaknya IKM terutama furnitur dan kerajinan dari Jateng yang belm memperoleh SVLK. Persoalannya, kata dia, proses perizinan seperti izin lingkungan,izin gangguan,dan sejumlah izin lainnya butuh waktu untuk diproses. Padahal, izin tersebut menjadi persyaratan mutlak bagi sebuah unit IKM untuk mengikuti audit SVLK. Ratna khawatir, jika dalam 10 bulan ke depan, izin-izin tersebut gagal diperoleh dan tidak bisa mengikuti sertifikasi SVLK, maka ekspor banyak IKM di Jateng bakal mandek.
Mendapat pertanyaan tersebut, Bambang Hendroyono menegaskan, tenggat waktu implementasi SVLK tak bisa ditawar lagi. "31 Desember 2015 adalah batas akhir implementasi penuh SVLK dalam proses ekspor. Ini sudah komitmen pemerintah" katanya.
Tenggat waktu 31 Desember 2015 sejatinya adalah buah pelonggaran. Sebelumnya tenggat waktu yang ditetapkan adalah 31 Desember 2014. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan No.P.43/Menhut-II/2014 tentang Penilain Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu pada Pemegang Izin atau pada Hutan Hak. Sementara dalam proses ekspor ketentuan tersebut diatur dalam peraturan Menteri Perdagangan (Pemendag) No.81 tahun 2013.
Termasuk yang wajib memiliki sertifikat SVLK adalah pemegang Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK), Izin Usaha Industri (IUI) dan IUI lanjutan, seperti furniture, dan Tanda Daftar Industri (TDI).
Namun lewat sebuah proses dramatis, tenggat waktu implementasi penuh khususnya untuk industri furnitur IKM,SVLK kembali diundur. Kerajinan Indonesia (A M K R I) yang melapor ke Menteri Perdagangan Rahmat Gobel berujung pada pengunduran tenggat waktu tersebut. AMKRI beralasan banyak pelaku industri pengolahan kayu, terutama yang berkala kecil dan mikro yang belum mendapat sertifikat SVLK. Mereka bakal berhenti kegiatan ekspornya jika tenggat implementasi SVLK tetap 31 Desember 2014.
Maka terbitlah Peraturan Menteri LHK No.P.95/Menhut-II/2014. Untuk proses ekspor, terbit Pemendag No.97 tahun 2014.
Dalam ketentuan tersebut, tenggat waktu bagi industri yang memegang izin IUIPHHK, IUI dan IUI lanjutan, dan Tanda Daftar Industri, serta pemegang eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) non produsen di beri kesempatan hingga 30 juni 2015 untuk mendapat sertifikat LK. Jika mereka hendak melakukan ekspor, maka proses penerbitan v-legal dilakukan lewat produser inspeksi oleh Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK).
Sementara bagi pemegang ETPIK IKM mebel, yang belum memiliki sertifikat LK dan bahan bakunya juga belum memiliki sertifikat LK atau deklarasi kesesuaian pemasok (DKP) maka ekspor bisa dilakukan dengan menggunakan Deklarasi Ekspor sampai 31 Desember 2015.

Komitmen

Bambang mengakui, tenggat waktu 31 Desember 2015 bukanlah jangka waktu yang lama. Untuk itu dia berharap pemerintah daerah juga memiliki komitmen untuk mendukung percepatan sertifikasi SVLK bagi furnitur skala industri kecil dan menengah dengan memberi kemudahan regulasi dan birokrasi.

Dia menuturkan, pemerintah memiliki pekerjaan rumah (PR) besar soal sertifikasi SVLK industri furnitur skala IKM. "Saat ini IKM Furnitur masih bisa memanfaatkan dokumen Deklarasi Ekspor (DE), namun mulai 1 Januari 2016 tidak bisa lagi. Waktu yang tersedia sebenarnya tidak panjang," kata dia.

Saat ini terdapat sekitar 1.500 Eksportir Terdaftar Produk Industri Kehutanan (ETPIK) untuk furnitur yang teregistrasi di Kementerian Perdagangan. Dari jumlah tersebut ada 750 unit yang terdaftar di Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian LHK. Sebanyak 359 unit telah memiliki hak akses untuk menggunakan dokumen DE dan aktif melakukan ekspor. Pada periode 1 Januari-17 Ferbruari terdapat 2.259 DE yang digunakan untuk ekspor.

Di samping itu terdapat 1.645 IUIPHHK dengan kapasitas kurang dari 6.000 m3 per tahun yang tersebar di 24 provinsi dan 224 Kabupaten/Kota yang juga belum mendapat sertifikat SVLK.

Menurut Bambang, merekalah yang menjadi prioritas untuk difasilitasi agar mendapat SVLK sebelum tenggat yang di tetapkan tiba. "Potensi ekspor furnitur kita besar. Jangan sampai ekspor mereka terhambat hanya karena gagal mendapat sertifikat SVLK tahun depan," kata Bambang.

Bambang menekankan soal komitmen pemerintah daerah untuk percepat SVLK bagi IKM. Pasalnya, hambatan utama mereka mendapat sertifikat tersebut adalah sola perizinan di daerah seperti Tanda Daftar Perusahaan (TDP), Tanda Daftar Industri (TDI), Izin Gangguan (HO) dan Surat Izin Usaha Perdagangan yang merupakan kewenangan pemda.

Menurut dia, apa yang dilakukan pemerintah kabupaten Klaten layak ditiru. Di sana, bupati Klaten merilis Peraturan Bupati No.16 Tahun 2014 yang memangkas waktu proses perizinan. Selain itu, bagi IKM yang mendapat sertifikat SVLK juga medapat insentif fiskal berupa pemotongan retribusi hingga 25%. "Pemda lainnya juga bisa melakukan hal itu. Kuncinya komitmen," katanya.

Pemerintah pusat sendiri cq Kementerian LHK, telah menyiapkan Rp33 miliar untuk mendanai sertifikasi SVLK bagi IKM. Dana tersebut berasal dari APBN dan Lembaga Donor Multistakeholder Forestry Program. Kemudahan lain yang di berikan adalah bisa dilakukannya sertifikasi secara berkelompok dan di pangkasnya standar biaya audit.

Bambang menegaskan implementasi SVLK tidak bisa ditawar lagi sebab dunia makin menuntut pasokan kayu legal. SVLK yang di terapkan secara transparan dan akuntabel bisa menjawab tuntutan tersebut. Terbukti ekspor kayu Indonesia meningkat pasca diterapkannya SVLK. Untuk ekspor untuk kelompok A (kayu lapis,kayu pertukangan,bubur kayu,kertas dan bangun prefabrikasi) pada 2013 tercatat 5,17 miliar dolas AS. Tahun berikutnya naik sebanyak 11,1% menjadi 5,74 miliar dolar AS. Ekspor kelompok A kembali naik pada tahun 2014 menjadi 5,96 miliar dolas AS pada tahun 2014. "Ini menunjukkan dunia internasional mengakui dengan legalitas kayu Indonesia," katanya.

Sementara itu Direktur Ekspor Hasil Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Nurlaila Nur Muhammad berharap pemberlakukan SVLK secara penuh termasuk bagi IKM furnitur bisa mendukung peningkatan ekspor. "Kami menargetkan ekspor bisa naik hingga 300%," katanya.

SVLK wajib untuk seluruh ekspor produk kehutanan diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.97 Tahun 2014. Meski demikian produk IKM furnitur yang termasuk dalam 15 kelompok HS, masih diperkenankan penggunaan DE sampai Desember 2014.

Sumber : AGROINDONESIA (Vol. IX, NO. 534, 24 Ferbruari - 3 Maret 2015)