Tata Kelola Kayu Jangan Mundur

Sejumlah aktivis dari organisasi non-pemerintah meminta Presiden Joko Widodo memperkuat sistem verifikasi legalitas kayu yang telah berjalan bertahap dua tahun terakhir.
Penguatan diperlukan agar sistem semakin kredibel dan memperbaiki tata kelola kehutanan dari hulu ke hilir yang lestari.
Seruan ini disampaikan Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, Forest Watch Indonesia, Kemitraan, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Perkumpulan Bantuan Hukum (PBH), dan Perkumpulan untuk Pembahuruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMA), Jumat (17/4). di Jakarta.
Organisasi-organisasi non-pemerintah yang bekerja dalam isu tata kelola kehutanan itu menanggapai pernyataan Ketua Asosiasi Mebel dan Kerajinan Indonesia (AMKRI) Sunato yang menyatakan, Presiden setuju sistem verifikasi legalitas kayu (SVLK) hanya diaplikasikan untuk hulu dan sistem tersebut dicoret bagi produk mebel dan kerajinan. Sunoto mengungkapkan hal itu setelah menghadap Presiden Joko Widodo (Kompas, 16/4).
Mardi Minangsari, Dinamisator Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan, mempertanyakan kebenaran pernyataan tersebut, "Kalau pernyataan itu benar, pemerintah mencederai proses partisipatif panjang pembangunan SVLK yang sangat partisipatif selama satu dekade, sejak 2003,"katanya.
Ia mengingatkan, perbaikan tata kelola hutan melalui SVLK bertujuan memulihkan kepercayaan pasar. Sejak tahun 1990-an, Indonesia dikenal sebagai penyuplai sumber kayu ilegal. SVLK, yang awalnya dibangun melalui kerja sama dengan Uni Eropa, memberi jaminan produk olahan kayu berasal dari kayu bersumber lestari dan bebas dari konflik sosial.
Uni Eropa yang menjadi pasar 40 persen produk mebel dan kerajinan Indonesia mengharuskan eksportir Indonesia mengantongi SVLK. Jika SVLK dicabut, Indonesia akan kehilangan pasar itu. Sejak 2010, Uni Eropa memiliki European Union Timber Regulation dan kerja sama Indonesia-Eropa yang mewajibkan setiap impor produk kayu dari Indonesia dilengkapi SVLK.
SVLK wajib diberlakukan menyeluruh dari hulu ke hilir. Jika diberlakukan hanya di hulu, dikhawatirkan memperlebar rembesan kayu ilegal. "Kalau beberapa produk dikecualikan, akan melemahkan keseluruhan sistem,"ujar Mardi.
Revolusi Mental
Muhammad Kosar, pengampanye Forest Watch Indonesia, mengatakan, SVLK merupakan dokumen berisi kumpulan peraturan dan perizinan yang wajib dipenuhi setiap kegiatan usaha produk kayu. Oleh karena itu, pengusaha yang menolak SVLK membuka borok ketidakpatuhan yang dijalankan dalam usaha bisnis. "Bagaimana berbicara revolusi mental kalau pemilik usaha tak memenuhi kewajibannya." katanya.
Para pegiat itu juga menunjukan bahwa tak semua industri menolak SVLK. Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), yang berdiri sejak 1988 dan kini punya 2800 anggota, mendukung SVLK.
Asmindo, yang Joko Widodo pernah menjadi ketua di wilayah Solo Raya, hanya meminta pemerintah mempermudah industri kecil-menengah dalam mengikuti SVLK. "Kalau SVLK dihapus, di mana muka kita? Apa lagi ke depan akan banyak negara pesaing yang kini sedang membangun sistem legalitas kayu,"kata Widayati Soetrisno, Pengurus DPP Asmindo Bidang Pengkajian Regulasi dan Hubungan Antarlembaga.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, kemudahan itu terus diupayakan. Pihaknya telah mengeluarkan surat agar industri perkayuan rakyat cukup dengan surat faktur atau surat keterangan dari desa/kelurahan, bukan dinas kehutanan.
Selain itu, KLHK dan Kementerian Perdagangan sedang membangun pusat perdagangan kayu legal untuk menjamin ketersediaan kayu legal bagi pelaku industri. "Di situlah simpul atau pusat perdagangan kayu yang sudah legal sehingga para industriwan kecil terjamin legalitas kayunya,"kata Siti di sela-sela Pameran Indogreen Forestry Center di JCC Senayan. Ia tak tahu pernyataan AMKRI terkait sikap Presiden terhadap SVLK.
Sumber: KOMPAS (Sabtu, 18 April 2015)