Aturan Kendur Celah Kayu Ilegal

Aturan baru Menteri Perdagangan yang tak mewajibkan legalitas kayu pada mebel dan furnitur mengendurkan upaya tata kelola kehutanan. Itu bisa membuka lagi celah pengoplosan kayu ilegal dengan kayu legal karena tak ada verifikasi legalitas produk jadi.
Menteri Perdagangan diminta merevisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 89 Tahun 2015 untuk menghentikan peredaran dan penggunaan kayu-kayu ilegal hasil pembalakan liar. "Dalam satu sistem rantai pasokan kayu ada dari hulu dan hilir yang semua harus dipastikan legalitasnya," kata Agus Justianto, Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bidang Ekonomi Sumber Daya Alam, Kamis (22/10) di Jakarta.
Ia menanggapi keluarnya Permendag No 89/2015 tentang Ketentuan Ekspor Produk Kehutanan yang menggantikan Permendag No 66/2015. Dalam Permendag yang ditandatangani 19 Oktober 2015, ekspor produk kayu tak mewajibkan Dokumen V-Legal. Namun, pengekspor harus menyertakan dokumen yang membuktikan bahan baku kayu bersertifikat legal. "Kalau di hilir ada produk yang dikecualikan, sistem ini tak akan berjalan sempurna karena ada celah masuk kemungkinan terjadi sumber ilegal," kata Agus yang juga Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan KLHK.
Kementerian Perdagangan berdalih deregulasi itu agar tak terjadi sertifikasi ganda pada bahan baku dan produk olahannya. Selain itu, demi peningkatan daya saing dan ekspor industri mebel nasional (Kompas, 22/10).
Namun, data dari Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) menunjukan nilai ekspor menggunakan Dokumen V-Legal meningkat. Dari 6 juta dollar AS (2013) menjadi 6,6 juta dollar AS (2014) hingga 8,2 juta dollar (per 1 Oktober 2015).
Data itu, kata Fazrin Rahmadani, Ketua Tim Legalitas Kayu Multistakeholder Forestry Programme, menunjukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) tak menghambat ekspor. Karena itu, ia menganggap penting SVLK berlaku bagi semua produk kehutanan, termasuk kelompok B yang terdiri atas 15 pos tarif (HS), seperti mebel dan furnitur.
Untuk menghasilkan 1 meter kubik produk furnitur butuh volume bahan baku kayu lebih banyak. "Ketika terdapat salah satu simpul rantai pasok tidak wajib sertifikasi, berpeluang besar jadi tempat 'buangan/pencucian' kayu-kayu ilegal," katanya.
Meski kecewa dengan Permendag No 89/2015, Henri Subagiyo, Direktur Lembaga Kajian Hukum Lingkungan (ICEL), menilai aturan itu punya sisi baik karena eksportir wajib memastikan sumber bahan bakunya legal. "Masalahnya, pemerintah belum mengatur tegas apa sanksinya apabila terbukti produk itu tidak legal," katanya.
Solusinya, kata dia, menyusun peraturan pemerintah mengingat SVLK isu lintas kementerian. Selain itu, PP bisa menjadi cantolan bagi pemberian sanksi.
Ditemui sesuai memberi pembekalan kepada penyuluh kehutanan, Ketua Komisi IV DPR Edhy Prabowo mengatakan, sertifikat legalitas kayu penting untuk mengetahui asal usul. "Kalau tidak, nanti para(pelaku) illegal logging semena-mena," katanya.
Ia mengatakan akan memanggil pihak terkait untuk menjelaskan pelemahan SVLK. Apalagi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, dua pekan sebelum Permendag No 89/2015 terbit, menyurati Menko Perekonomian yang meminta kebijakan SVLK dijalankan konsisten.
Sumber: KOMPAS (Jumat, 23 Oktober 2015)