Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK)
Sustainability and Legality Information System
Senin, 10 Maret 2025

Pengakuan Resmi SVLK

2013-10-07 12:21:51 by Administrator Liu

Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan, dijadwalkan menandatangani perjanjian tersebut dengan Komisi UE di Brusel, Belgia, Senin (30/9/2013). Menhut pun antusias dengan penandatanganan kerjasama tersebut “Ini adalah capaian yang luar biasa, karena Indonesia adalah Negara pertama di dunia yang mempunyai sistem yang diakui dalam FLEGT VPA dengan Uni Eropa,” katanya.

Sebelum dengan Indonesia, sejumlah negara memang sudah meneken perjan­jian tersebut. Termasuk diantaranya Kamerun dan Republik Kongo. Meski demikian, baru Indonesia yang memperoleh pengakuan untuk penerapan sistem jaminan legalitas kayu. Indonesia mengembangkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk memastikan produk kayu yang diekspor berasal dari sumber yang legal.

Menhut menyatakan, penerapan SVLK memastikan seluruh produk kayu Indonesia dihasilkan secara legal sesuai peraturan perundang-undangan Indonesia dan memenuhi azas kelestarian hutan. Menhut juga menggaransi, produk yang dilengkapi sertifikat legalitas kayu (SLK) berbasis SVLK akan diterima oleh kon­sumen UE sesuai dengan perjanjian FLEGT VPA. “Apabila VPA ini telah ditandatangani, maka kayu Indonesia yang masuk Uni Eropa tidak lagi memerlukan proses due diligence,”katanya.

Due diligence, atau uji tuntas, adalah proses pengujian untuk memastikan produk kayu yang masuk ke UE adalah produk yang legal berdasarkan ketentuan importasi kayu (UE Timber Regulation) yang diterapkan sejak 3 Maret 2013.

Zulkifli menuturkan, kredibilitas SVLK tidak perlu diragukan dan teruji.Tahun lalu Indonesia telah melakukan uji coba sistem melalui pengapalan kayu bersertifikat V-Legal ke delapan negara Uni Eropa dengan sukses. Penilaian bersama (joint assessment) antara pemerintah Indonesia dan Komisi UE terhadap penerapan SVLK juga sudah dilakukan dan menghasilkan hasil yang baik.

“Dengan SVLK, produk kayu kita siap memasuki pasar global,” katanya.

Namun Menhut menekankan komitmen dari UE dan negara konsumen untuk memiliki gairah yang sama yaitu pemberantasan pembalakan dan perdagangan kayu ilegal. Caranya dengan tidak membeli produk kayu hasil pencucian kayu ilegal, termasuk yang berasal dari Indonesia.

Menhut menyatakan, masih ada negara-negara yang menampung kayu illegal untuk kemudian diolah dan diekspor ke negara konsumen. “Hal ini semestinya menjadi perhatian khusus Uni Eropa dan negara-negara pengimpor lainnya untuk tidak menampung kayu ilegal negara lain. Dengan demikian, akan semakin terjamin bahwa hanya produk kayu dari bahan baku yang benar-benar legal yang disuplai ke pasar Uni Eropa dan pasar global,” katanya.

Menhut berharap dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut dan meningkatnya komitmen untuk pembelian kayu legal, ekspor produk kayu Indonesia bisa meningkat setidaknya 50%. Dia mengungkapkan, perkembangan ekspor industri kehutanan sejauh  ini  sangat positif. Berdasarkan penerbitan dokumen V-Legal sampai 23 September 2013 ekspor produk industri kehutanan telah mencapai 4,203 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 4,6 triliun.

Ratifikasi.

Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut Bambang Hendroyono menya­takan, setelah VPA diteken, masih ada tugas yang mesti dilaksanakan oleh kedua belah pihak. Termasuk salah satunya adalah ratifikasi perjanjian yang melibatkan legislatif masing-masing negara,” katanya.

Proses ratifikasi diperkirakan bisa memakan waktu 6 bulan. Meski demikian, Bambang berharap proses tersebut bisalebih cepat mengingat perjanjian tersebut telah melewati proses panjang dan pernbahasan multipihak.

Bambang menuturkan, setelah VPA dengan UE, pengakuan resmi terhadap SVLK sebagai instrumen yang memasti­kan produk kayu yang diperdagangkan adalah legal juga akan disusul dengan Jepang, Amerika Serikat, dan Australia. “Secara prinsip SVLK memenuhi persyaratan yang ditetapkan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang ditetapakan negara-negara.” kata Bambang.

Bambang menegaskan, berbekal SVLK konsumen sebenarnya tidak perlu meminta sertifikat tambahan seperti yang dikeluarkan oleh lembaga FSC. Apalagi akuntabilitas dan transparansi  SVLKsangat tinggi, karena sejak awal dibangun dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, mulai dari pelaku usaha, pemerintah, akademisi, anggota masyarakat dan organisasi masyarakat sipil.

Bukti pengakuan SVLK bisa terlihat dari semakin baiknya kinerja ekspor produk kehutanan Indonesia. Produk kayulapis, kayu olahan, pulp dan kertas yang merupakan kelompok awal terkena kewajiban SVLK mengalami kenaikansebanyak 334.011.071 dolar AS pada 8bulan pertama tahun 2013 dibandingkan data Badan Pusat Statistik pada tahun 2012. Peningkatan terbesar terjadi padaproduk kayu lapis yang naik 143.496.351dolar AS dan pulp yang naik 201.203.033dolar AS.

Sumber: AGROINDONESIA (VOL. IX, NO. 467, 1 – 7 Oktober 2013)