Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK)
Sustainability and Legality Information System
Senin, 10 Maret 2025

SVLK Dalam Negeri Wajib

2013-12-23 10:35:43 by Administrator Liu

Pemerintah mewajibkan sertifikasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sebagai pegangan untuk pembelian produk berbasis kayu di dalam negeri di tengah derasnya kampanye penggunaan sertifikasi asing seperti Forest Stewardship Council (FSC).

Menteri Kehutanan, Zulkifli Hasan di Jakarta, Senin (16/12) mengatakan SVLK merupakan skema multipi-hak terbaik untuk memastikan produk kayu yang dihasilkan legal dan lestari.

Uni Eropa, bahkan sudah secara resmi mengakui SVLK dengan menandatangani perjanjian kemitraan sukarela (VPA) dengan Indonesia. "Jadi di dalam negeri juga selayaknya menghormati SVLK," katanya pada seminar "Implementasi SVLK dalam Penguatan Pasar" yang diselanggara-kan Perhimpunan Jurnalis Indonesia (PJI).

Dia mengatakan untuk pembelian pemerintah, saat ini sedang disusun rancangan peraturan presiden tentang pembelian produk hijau. Berdasarkan ketentuan itu, maka pengadaan barang dan jasa yang menggunakan produkkayu dan turunannya harus memiliki sertifikat SVLK. "Sementara untuk produk kayu impor saat ini sedang disusun regulasi impor kayu yang harus menggunakan SVLK. Hal ini juga bertujuan untuk mencegah pencucian kayu," katanya.

Zulkifli juga menyinggung mereka yang masih memberi kampanye negatif terhadap SVLK sebagai pihak yang seiama ini diuntungkan dengan peredaran kayu haram. SVLK berlaku sejak 2009 dan diimplementasikan secara efektif dalam proses ekspor mulai Januari 2013. Dalam pelaksanaannya SVLK melibatkan asesor independen dan pemantau dari LSM untuk memastikan bahanbaku kayu yang dimanfaatkan berasal dari sumber yang legal.

Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan, Nusa Eka mengungkapkan saat ini masih ada kampanye yang dilancarkan pihak tertentu untuk hanya berpatokan pada skema FSC pada pembelian produk kehutanan khususnya pulp dan kertas. Oleh karena itu dia meminta kepada seluruh komponen di dalam negeri untuk lebih solid dalam mengusung SVLK.

"Industri di dalam negeri seharusnya juga jangan terpengaruh dengan kampanye FSC. Kami semua harus solid mendukung produk yang dilengkapi SVLK seba-gai produk yang lestari," katanya.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Bidang Hutan Tanaman, Nana Suparna mempertanyakan motif yang digencarkan oleh pihak yang hanya mengampanyekan sertifikasi FSC. Selain FSC, ada juga skema sertifikasi pengelolaan hutan lestari yang dikembangkan lembaga lain seperti PEFC (The Programme for the Endorsment of Forest Certification).

"Kalau tujuannya untuk pengelolaan hutan lestari, mengapa hanya sertifikat FSC? Sementara sertifikat lain seperti SVLK dan PEFC tidak dihiraukan," katanya. Nana mengatakan skema ser-tifikasi FSC Hanya menguntungkan bagi negara maju, sebab terdapat ketentuan tentang pembangunan hutan tanaman paling lambat dilakukan pada 1994. Ketentuan tersebut dipastikan tidak bisa dipenuhi Indonesia karena HTI Indonesia baru berkembang setelah 1994.

Menurut dia, pemberlakuan SVLK menjadi momen yang tepat untuk membangun kemandirian sertifikasi produk hasil hutan, untuk itu pihaknya meminta komitmen dari semua pihak untuk terus menjaga kredibilitas SVLK. "Perjanjian untuk pengakuan SVLK juga harus diperluas ke semua negara dan konsumen kayu tropis," katanya.

Sumber: Jurnal Nasional (Rabu, 17 Desember 2013)