SVLK Bisa Diboncengi

Meski produk kayu tercatat sebagai produk ungggulan, namun berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) tahun depan dinilai menekan industri pengolahan kayu di tanah air. Produsen produk kayu ASEAN sangat mungkin akan memanfaatkan langkah maju Indonesia yang telah memiliki Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk menembus pasar global.
"Kami khawatir, SVLK kita diboncengi oleh produk asal negara ASEAN, terutama Vietnam. Kalau itu yang terjadi, gawat. Sebab yang rugi akhirnya industri di tanah air." Kata Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementrian Kehutanan, Dwi Sudharto di Jakarta, Kamis (27/3/2014).
Dwi menjelaskan, Indonesia saat ini berada di posisi terdepan untuk produk-produk kehutanan seiring dengan diterapkannya SVLK. Sistem tersebut diakui oleh negara-negara konsumen, termasuk Uni Eropa, sebagai sistem yang bisa memastikan produk yang dikirimkan bersumber dari kayu legal. Sampai saat ini tidak ada negara ASEAN yang memiliki sistem serupa.
Persoalannya, lanjut Dwi, saat MEA diberlakukan, produk dari negara ASEAN bisa bebas mengalir ke tanah air. Indonesia akan dijadikan transit, untuk selanjutnya produk tersebut menembus negara konsumen berbekal SVLK Indonesia. "Jadi, Cuma numpang lewat di Indonesia untuk mendapat sertifikat SVLK" katanya.
Modusnya, bisa dengan melakukan reinvestasi sebagian pabrik dari negara ASEAN ke Indonesia. Sepintas, hal itu terkesan akan memberi Indonesia banyak keuntungan. Namun kenyataannya, pabrik tersebut hanya mengolah pada proses finishing. Sementara pengolahan dari bahan baku, hingga secondary process tetap dilakukan di negara asal. Setelah diberi sedikit sentuhan akhir, baru ekspor dilakukan. Jadi, nilai tambah terbesaranya tetap berada di negara asal.
Menurut Dwi, dengan ongkos transportasi yang bersaing dari negara asal ke Indonesia, modus tersebut tidak akan membeban produsen produk kayu ASEAN. "Sebaliknya, bisa dipastikan Industri yang asli merah putih bakal tergenjet," katanya.
Untuk mencegah hal itu, juga bukan perkara gampang. Dwi menyatakan, prosedur impor kayu bisa saja diperketat. Namun, hal itu juga dikhawatrikan bakal berdampak kepada industri pengolahan kayu nasional. Pasalnya ada beberapa jenis kayu impor yang memang dibutuhkan oleh industri di dalam negeri. Misalnya kayu eksotis seperti Oaks, asal Amerika yang banyak digunakan untuk lapisan face-back kayu lapis.
Ada juga bubur kayu serat panjang asal negara-negara subtropis yang pakai oleh industri pulp dan kertas. "Jadi, jangan sampai tujuannya menghambat produk pesaing, yang terjadi malah industri di dalam negeri kesulitan. Ibaratnya mau nepuk nyamuk, tapi pake bom," kata Dwi.
Dia menuturkan, cara yang paling ampuh untuk menghadapi MEA adalah dengan terus meningkatkan inovasi dan desain produk. Kemenhut sendiri berkomitmen untuk melakukan relaksasi peraturan perundang-undangan dan percepatan pelayanan perizinan sehingga daya saing industri di tanah air bisa semakin terdongkrak.
Sumber: AGROINDONESIA (VOL. IX, NO. 491, 1-7 April 2014)