Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK)
Sustainability and Legality Information System
Senin, 10 Maret 2025

Industri Manfaatkan Kayu Resmi

2015-03-13 15:07:28 by Administrator Liu
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) memastikan industri berbasis kayu yang beroperasi secara resmi hanya menggunakan bahan baku kayu dari sumber yang resmi. Di sisi lain, persoalan illegal logging diakui masih menjadi problem besar di Indonesia.
Demikian penjelasan yang dipaparkan Menteri LHK Siti Nurbaya yang di dampingi Sekjen Kementerian LHK Hadi Daryanto di Jakarta, Selasa (24/2/2015).
Hadi menjelaskan pihaknya sudah melakukan telaahan supply-demand bahan baku untuk industri kehutanan di tanah air, termasuk kayu lapis, furniture, kayu petukangan, serta bubur kayu dan kertas. "Terbukti tidak ada gap antara pasokan dan kebutuhan baku kayu seperti yang di tuduhkan," katanya.
Perbedaan catatan nilai ekspor memang terlihat jika membandingkan catatan Kementerian LHK (Sistem Informasi Legalitas Kayu/SILK) dan Kemendag (Indonesian National Single Window/INSW). Berdasarkan SILK, nilai ekspor produk kayu Indonesia pada tahun 2014 lalu sebesar 6,6 miliar dolas AS padahal. Sementara berdasarkan INSW sebesar 9,8 miliar dolasr AS.
Hal itu kata Hadi, dikarenakan SILK hanya mencatat produk berbasis kayu yang sudah di wajibkan untuk menggunakan Dokumen V-Legal dalam proses ekspor seperti di atur dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Produk tersebut adalah plywood, woodworking dan bubur kayu.
Sementara produk furnitur dan sebagian produk kertas belum dikenai kewajiban SVLK, meski sudah ada yang memanfaatkan Dokumen V-Legal dalam proses ekspornya. "Jadi yang dicatat di SILK hanya yang sudah diwajibkan saja. Sebagian produk kertas berorientasi ekspor yang berbahan kayu limbah, juga belum diwajibkan. Inilah yang memunculkan perbedaan angka ekspor antara Kemenhut dan Kemendag," jelas Hadi.
Terkait industri bubur kayu dan kertas, Sekjen Kemntrian LHK juga memastikan industri tersebut memanfaatkan bahan baku dari sumber resmi. Hadi menjelaskan industri kertas memiliki rantai pasokan bahan baku yang beragam, termasuk bubur kayu dari dalam negeri, bubur kayu impor, kertas bekas dan bahan baku non kayu.
"Tidak semua bahan baku untuk kertas berasal dari hutan. Kalau ada laporan yang menyatakan terjadi gap bahan baku pada industri pulp dan kertas, maka perlu di lakukan analisa lebih lanjut dengan mempertimbangkan kompleksitas rantai pasokan bahan baku," kata Hadi.
Sebagai gambaran, Hadi memaparkan analisa pemanfaatan bahan baku industri pulp dan kertas pada tahun 2013. Pada tahun tersebut, produksi pulp nasional tercatat 3.987.390 ton dengan kebutuhan kayu sebanyak 17.225.526 m3 (1 ton pulp membutuhkan 4,32 m3 bahan baku kayu). Sementara produksi bahan baku kayu yang bisa dimanfaatkan oleh industri pulp mencapai 36,1 juta m3 yang terdiri dari produksi dari Hutan Tanaman Industri (HTI) sebesar 35,2 juta m3,949.607 m3 dari izin sah lainnya, dan 7,9 juta dari berbagai sumber legal lain.
Demikian juga untuk industri kertas. Pada tahun 2013 produksi kertas nasional sebanyak 7.975.057 ton. Untuk memproduksinya dibutuhkan bahan baku sebanyak 11,6 juta ton yang bersumber dari pasokan pulp dalam negeri sebanyak 3.858.359 ton, dan kertas bekas sebanyak 7,5 juta ton. Menurut Hadi, impor pulp meningkat karena industri kertas di tanah air menerapkan kebijakan untuk menghenti-kan penggunaan bahan baku dari kayu alam.
Hadi menegaskan Kementerian LHK tidak akan membiarkan penggunaan bahan baku ilegal oleh industri di tanah air. Pihaknya memiliki early warning system berupa sistem Rencana Pemenuhan Bahan Baku Industri (RPBBI) yang bekerja secara on seluruh industri terintegrasi wajib melaporkan jika ada tambahan pasokan bahan baku. Selanjutnya sistem akan melakukan verifikasi tentang sumber, tingkat kemampuan penghasil bahan baku, selanjutnya sistem akan verifikasi tentang sumber, tingkat kemampuan penghasil bahan baku, dan tingkat kemampuan produksi berdasarkan kapasitas produksi. "Jadi tidak mungkin terjadi gap bahan baku," ujarnya.

SELISIH

Penjelasan gamblang tersebut mementahkan pernyataan yang di keluarkan oleh Koalisi Anti Mafia Hutan. Lewat laporan bertajuk Indonesia's Legal Timber Supply Gap and Implications for Expansion of Milling Capacity, koalisi mengungkap selama 1991-2014, kesenjangan antara konsumsi kayu yang diterima industri dengan pasokan kayu legal yang di hasilkan dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industi (HTI) mencapai 219 juta m3.
Rinciannya, konsumsi kayu kebutuhan industri mencapai 866 juta m3, namun pasokan kayu yang dihasilkan dari konsesi berizin hanya 647 juta m3 selama 23 tahun terakhir.
Juru Bicara Koalisi Anti Mafia Hutan Grahat Negara mengatakan perhitungan tersebut didapatkan dari hasil produksi hasil hutan olahan dalam laporan berkala Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang di konversikan ke koefisien produksi kayu bulat.
Menurutnya, ketersediaan pasokan yang tidak sesuai dengan konsumsi industri hutan tersebut besar dihasilkan oleh penebangan hutan alam dan kayu curian yang tidak terdata.
"Kenyataannya laporan yang dikonsumsi industri ada kesenjangan dangan data pasokan selama ini," katanya, Selasa, (17/2/2015).
Dampaknya, Grahat melanjutkan, produksi kayu yang tidak tercatat tersebut membuat pemerintah tidak memiliki dasar untuk mengenakan kewajiban Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Dengan perhitungan pendatap dari Dana Reboisasi (DR) dan Provinsi Sumber Daya Hutan (PSDH), dia menaksir pendapatan yang tidak ma-suk ke kantong negara selama 23 tahun mencapai Rp55 Triliun berd-asarkan harga patokan dua indikator itu.
Secara khusus Granat menjelaskan, pada tahun lalu di perkira-kan ada kesenjangan produksi dan konsumsi kayu hingga 20 juta m3 yang sebagian besar dialokasikan untuk industri pulp dan paper. Grahat berharap industri pulp dan paper tidak menambah kapasitas terpasangnya yang akan mendorong permintaan pasokan bahan baku menjadi lebih banyak dari saat ini.
Apalagi, target pencapaian penanaman pohon untuk memperba-harui tebangan oleh pemerintah tidak pernah tercapai selama 5 tahun terakhir. Target penanaman sejak 2010-2014 mencapai 2,5 juta ha, namun yang terealisasi hanya 1,56 juta ha.
Memastikan tak ada penggunaan kayu ilegal oleh industri resmi, Menteri Siti Nurbaya tetap menegaskan, pembekalan liar masih terjadi di lapangan. Dia mengaku, sedang mengumpulkan bukti-bukti akurat sejumlah kasus pembakalan liar skala besar. "Pembekalan liar ini kejahatan yang luar biasa, seperti terorisme," katanya.
Siti berharap semua pihak bisa terus memberi informasi soal kasus pembekalan liar. Dia menyatakan informasi tersebut pasti akan ditindaklanjuti.

Sumber: AGROINDONESIA (Vol. IX, NO. 535, 3 - 9 Maret 2015)